Rabu, 04 Februari 2015

hukuman bagi mantan koruptor

PELARANGAN MANTAN TERPIDANA KORUPSI MENDUDUKI JABATAN PUBLIK
Oleh : Epri Wahyudi

Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio yang artinya penyuapan, Corruptore yang artinya merusak. Artinya gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :
a)      Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit : Hasta, Bandung). 
b)      Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  Penerbit: Balai Pustaka, 1976).
Secara harfiah korupsi jelas merupakan sesuatu perbuatan yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur dalam pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas :
a)      Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan sendiri atau orang lain
b)      Korupsi ; busuk, rungsak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya utuk kepentingan pribadi).[1]
Adapun hukuman bagi para koruptor ialah didasarkan pada pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diantaranya adalah sebagai berikut :
a)      Pidana mati
Dapat dipidana mati kepada orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu” adapun yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
b)      Pidana penjara  
c)      Pidana tambahan
d)     Gugatan perdata kepada ahli warisnya
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemerikasaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
e)      Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan pasal 20 (ayat 1-6) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :[2]
1.      (ayat 1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusannya.
2.      (ayat 2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam hhubungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3.      (ayat 3 dan 4) Dalam hal tututan piadana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan oleh orang lain.
4.      (ayat 5) hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
5.      (ayat 6) dalam hal tuntutan pidana dilakuka terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus ditempat tinggal pengurus atau tempat pengurus berkantor.
Unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang no 20 Tahun 2001 adalah :
1.      Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
2.      Perbuatan melawan hukum
3.      Merugikan keuangan negara dan pereknomian 
4.      Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas saran yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi diatas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari tindakan korupsi adalah sebagai berikut :[3]
1.      Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah baik itu masyarakat maupun negara-negara lain dalam kerjasama dibidang politik, ekonomi atau bidang yang lain.
2.      Berkurangnya kewibawaan kepemerintahan dalam masyarkat
3.      Menyusutnya pendapatan negara
4.      Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara
Keamanan dan ketahanan negara akan rapuh apabila para pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak maemaksakan ideologi atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya.
5.      Perusakan mental pribadi
6.      Hukum tidak lagi dihormati.
Dari pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan diatas jelas bahwa tindakan korupsi adalah suatu tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan prikemanusiaan, merupakan tindakan amoral, suatu tindakan yang dapat menghancurkan moral suatu bangsa, bahkan mengakibatkan suatu bangsa tak ada harga diri lagi dihadapan bangsa-bangsa lain.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah seorang mantan terpidana korupsi boleh menduduki jabatan publik setelah selesai menjalankan hukumannya dari kasus korupsi tersebut ? benarkah mantan terpidana benar-benar sudah menyesali bahkan bertobat setelah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang tidak bermoral tersebut ? kemudian apakah masyarakat mau dipimpin oleh seseorang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi, seseorang yang pernah menghianati amanat bangsa ini ? dan apakah ada Undang-undang khusus yang menyatakan secara tegas bahwa mantan terpidana korupsi dilarang menduduki jabatan publik kembali setelah selesai menjalani masa hukuman di lembaga  pemasyarakatan?
Dari hukuman-hukuman yang telah ada untuk para koruptor mungkin belum sepenuhnya membuat orang merasa jera untuk melakukan tindakan korupsi, hal itu dikarenakan bahwa hukuman tindak pidana korupsi masih dianggap lemah, oleh karena itu perlu adanya hukuman tambahan sebagaimana seperti yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam pasal 10 huruf b angka 1 disebutkan adanya pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu.[4] Pasal tersebut kemudian didukung oleh Pasal 35 (ayat 1) yang menyebutkan, hak terpidana dapat dicabut dengan putusan hakim, diantaranya hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, hak memasuki hukuman bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilu.
Seperti diberitakan, jaksa KPK menuntut Djoko Susilo dengan pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Djoko dibebani kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 32 miliar subsider 5 tahun kurungan. Tak hanya itu, jaksa Jaksa KPK juga memohon majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan yaitu tak boleh memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Hal ini dilakukan sebagai terobosan untuk membuat koruptor jera. Selama ini, praktik politik indonesia masih memberikan tempat kepada bekas narapidana korupsi bahkan diantara mereka dipromosikan dengan jabatan baru.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menyatakan “sudah saatnya pelaku korupsi diberi sanksi hukum dan sanksi politik, koruptor itu telah berhianat membawa mandat publik dalam jabatan publiknya sehingga wajar jika ada hukuman tambahan agar tak lagi menduduki jabatan publlik”.[5] Ini termasuk salah satu dari anggota masyarakat yang tidak berkenan dengan dibolehkannya mantan terpidana korupsi untuk dapat menduduki jabatan publik tersebut. Dan inilah sebenarnya yang harus menjadi acuan para Hakim didalam menentukan hukuman bagi para koruptor, meskipun hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU/7/2009 yang menganulir UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legeslatif, pada Pasal 50 (ayat 1) huruf g dan revisi UU No.12 tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 58 huruf f. Dan   Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang disebutkan dibagian kedelapan Hak Turut Serta dala Pemerintahan pada Pasal 43 (ayat 1, 2, dan 3) adapun isi per ayat : Ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” kemudian dalam Ayat 2 disebutkan “setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan” kemudian dalam ayat 3 disebutkan “setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan”[6]. Akan tetapi yang perlu di ingat juga bahwa hak orang juga dibatasia oleh hak orang lain, artinya bahwa masyarakat juga mempunyai hak untuk menolak seorang mantan narapidana korupsi duduk kembali dalam jabatan publik, apa jadinya jika suatu negara dipimpin oleh orang-orang yang bermentalkan koruptor, dan kita pun harus memaknai apa arti korupsi.
Bahkan  mentri dalam negri (Mendagri) telah membuat surat edaran SE yang bernomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 SE tersebut ditujukan kepada semua Gubernur dan Bupati/ Walikota, hal ini mengingat banyaknya pegawai negri sipil (PNS) yang telah menjalani hukuman diangkat kembali dalam jabatan struktural. Mendagri berharap tidak ada lagi mantan narapidana yang kembali diangkat dalam jabatan struktural, dan aturan ini akan berlaku surut, di pertegas dengan kalimat “iya, artinya sudah bisa menjadi dasar untuk mencopot bagi yang sudah terlanjur dipromosikan” ujarnya kepada media hukum online.[7]
 setidaknya apabila seorang Hakim mampu memutuskan hukuman tersebut ini akan menjadi suatu yurisprudensi baru bagi bangsa Indonesia untuk mencegah dari tindakan korupsi.
Adapun undang-undang yang mendukung bahwa mantan terpidana korupsi dilarang menduduki jabatan publik kembali walaupun tidak secara tegas, yaitu Undang-Undang No 28 Tahun 1999 pasal 1 (ayat 2) Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dinyatakan “penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi kolusi,dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya”.
Kemudian dalam pasal 5 (ayat 4) “tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme” kemudian dalam (ayat 7) juga dinyatakan “bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[8] Bagaimana jadinya apabila seorang mantan terpidana korupsi diminta untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah perkara korupsi, apakah ada seseorang yang mampu menjamin kalau mantan terpidana korupsi akan memberikan pernyataan kesaksian yang sejujur-jujurnya, atau bahkan seorang mantan terpidana korupsi tersebut bisa jadi memberikan pernyataan yang bisa benar atau palsu.
Secara sosial apabila mantan narapidan korupsi masih dibiarkan menduduki kembali jabatan publik ini akan merusak tatanan moral dikalangan masyarakat, selain norma hukum positif, dikalangan masyarakat juga dikenal dan diberlakukan norma adat, kesusilaan dan agama, dan ini sudah berlaku lama sebelum dikenalnya hukum positif. Dibeberapa bagian kehidupan masyarakat misalnya ada kebiasaan mengusir dan atau mengasingkan seseorang yang yang melakukan tindak asusila, tidak akan pernah terbayangkan bagaimana jadinya apabila seseorang tersebut kembali kemasyarakat tersebut dan kemudian menduduki jabatan publik. Secara moral aturan ini akan menjadikan dan melahirkan generasi muda yang tak memikirkan masa depannya, mereka akan melakukan berbagai tindak pidana yang jelas melawan hukum, toh setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan kita juga bisa duduk di jabatan publik kembali, inilah akibatnya apabila mantan narapidana korupsi masih dibiarkan untuk dapat menduduki jabatan publik kembali.




[1] Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi kedua, hal 8-9
[2]Ibid, hal 12
[3] Ibid, hal 16-17
[4] Kitab Undang-undang Hukum Pidana
[5] www.kpk.go.id yang diposting pada 22 Agustus 2013, 20:04
[6] Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
[7] www.hukumonline.com, yang di posting pada hari senin tgl 21 April 2014
[8] UU No 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar