PELARANGAN
MANTAN TERPIDANA KORUPSI MENDUDUKI JABATAN PUBLIK
Oleh : Epri Wahyudi
Korupsi berasal dari
bahasa latin Corruptio yang artinya
penyuapan, Corruptore yang artinya
merusak. Artinya gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan
wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :
a) Kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (S.
Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit : Hasta,
Bandung).
b) Perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
(W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka,
1976).
Secara
harfiah korupsi jelas merupakan sesuatu perbuatan yang busuk, jahat dan
merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur dalam pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan
jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas :
a) Korupsi,
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya)
untuk kepentingan sendiri atau orang lain
b) Korupsi
; busuk, rungsak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya,
dapat disogok (melalui kekuasaannya utuk kepentingan pribadi).[1]
Adapun
hukuman bagi para koruptor ialah didasarkan pada pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Pidana
mati
Dapat dipidana mati kepada orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 yang
dilakukan dalam “keadaan tertentu” adapun yang dimaksud dalam “keadaan
tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana korupsi tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai
dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional,
sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan
krisis ekonomi (moneter).
b) Pidana
penjara
c) Pidana
tambahan
d) Gugatan
perdata kepada ahli warisnya
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat
dilakukan pemerikasaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli
warisnya.
e) Terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana
denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini
melalui prosedural ketentuan pasal 20 (ayat 1-6) Undang-Undang No 31 Tahun 1999
adalah sebagai berikut :[2]
1. (ayat
1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusannya.
2. (ayat
2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam hhubungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
3. (ayat
3 dan 4) Dalam hal tututan piadana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan
oleh orang lain.
4. (ayat
5) hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
5. (ayat
6) dalam hal tuntutan pidana dilakuka terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
ditempat tinggal pengurus atau tempat pengurus berkantor.
Unsur
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang no 20 Tahun 2001 adalah :
1. Melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
2. Perbuatan
melawan hukum
3. Merugikan
keuangan negara dan pereknomian
4. Menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan atas saran yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dari
uraian pengertian dan penyebab korupsi diatas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari
tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari tindakan
korupsi adalah sebagai berikut :[3]
1. Berkurangnya
kepercayaan terhadap pemerintah baik itu masyarakat maupun negara-negara lain dalam
kerjasama dibidang politik, ekonomi atau bidang yang lain.
2. Berkurangnya
kewibawaan kepemerintahan dalam masyarkat
3. Menyusutnya
pendapatan negara
4. Rapuhnya
keamanan dan ketahanan negara
Keamanan
dan ketahanan negara akan rapuh apabila para pejabat pemerintah mudah disuap
karena kekuatan asing yang hendak maemaksakan ideologi atau pengaruhnya
terhadap bangsa Indonesia akan menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk
mewujudkan cita-citanya.
5. Perusakan
mental pribadi
6. Hukum
tidak lagi dihormati.
Dari
pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan diatas jelas bahwa tindakan
korupsi adalah suatu tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan
prikemanusiaan, merupakan tindakan amoral, suatu tindakan yang dapat
menghancurkan moral suatu bangsa, bahkan mengakibatkan suatu bangsa tak ada
harga diri lagi dihadapan bangsa-bangsa lain.
Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah seorang mantan terpidana korupsi boleh
menduduki jabatan publik setelah selesai menjalankan hukumannya dari kasus
korupsi tersebut ? benarkah mantan terpidana benar-benar sudah menyesali bahkan
bertobat setelah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, dan berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan yang tidak bermoral tersebut ? kemudian apakah
masyarakat mau dipimpin oleh seseorang yang pernah melakukan tindak pidana
korupsi, seseorang yang pernah menghianati amanat bangsa ini ? dan apakah ada
Undang-undang khusus yang menyatakan secara tegas bahwa mantan terpidana
korupsi dilarang menduduki jabatan publik kembali setelah selesai menjalani
masa hukuman di lembaga pemasyarakatan?
Dari
hukuman-hukuman yang telah ada untuk para koruptor mungkin belum sepenuhnya
membuat orang merasa jera untuk melakukan tindakan korupsi, hal itu dikarenakan
bahwa hukuman tindak pidana korupsi masih dianggap lemah, oleh karena itu perlu
adanya hukuman tambahan sebagaimana seperti yang telah diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dalam pasal 10 huruf b angka 1 disebutkan adanya
pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak
tertentu.[4]
Pasal tersebut kemudian didukung oleh Pasal 35 (ayat 1) yang menyebutkan, hak
terpidana dapat dicabut dengan putusan hakim, diantaranya hak memegang jabatan
pada umumnya atau jabatan tertentu, hak memasuki hukuman bersenjata, serta hak
memilih dan dipilih dalam pemilu.
Seperti
diberitakan, jaksa KPK menuntut Djoko Susilo dengan pidana penjara 18 tahun dan
denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Djoko dibebani kewajiban
membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 32 miliar subsider 5 tahun
kurungan. Tak hanya itu, jaksa Jaksa KPK juga memohon majelis hakim juga
menjatuhkan hukuman tambahan yaitu tak boleh memilih dan dipilih dalam jabatan
publik. Hal ini dilakukan sebagai terobosan untuk membuat koruptor jera. Selama
ini, praktik politik indonesia masih memberikan tempat kepada bekas narapidana
korupsi bahkan diantara mereka dipromosikan dengan jabatan baru.
Peneliti
Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menyatakan “sudah saatnya pelaku
korupsi diberi sanksi hukum dan sanksi politik, koruptor itu telah berhianat
membawa mandat publik dalam jabatan publiknya sehingga wajar jika ada hukuman
tambahan agar tak lagi menduduki jabatan publlik”.[5] Ini
termasuk salah satu dari anggota masyarakat yang tidak berkenan dengan
dibolehkannya mantan terpidana korupsi untuk dapat menduduki jabatan publik
tersebut. Dan inilah sebenarnya yang harus menjadi acuan para Hakim didalam
menentukan hukuman bagi para koruptor, meskipun hal ini bertentangan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU/7/2009 yang menganulir UU No. 10 Tahun
2008 Tentang Pemilu Legeslatif, pada Pasal 50 (ayat 1) huruf g dan revisi UU
No.12 tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 58 huruf f. Dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia yang disebutkan dibagian kedelapan Hak Turut Serta dala
Pemerintahan pada Pasal 43 (ayat 1, 2, dan 3) adapun isi per ayat : Ayat 1
berbunyi “Setiap warga negara berhak
untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak
melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” kemudian dalam Ayat 2
disebutkan “setiap warga negara berhak
turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan” kemudian dalam ayat 3 disebutkan “setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan”[6].
Akan tetapi yang perlu di ingat juga bahwa hak orang juga dibatasia oleh
hak orang lain, artinya bahwa masyarakat juga mempunyai hak untuk menolak
seorang mantan narapidana korupsi duduk kembali dalam jabatan publik, apa
jadinya jika suatu negara dipimpin oleh orang-orang yang bermentalkan koruptor,
dan kita pun harus memaknai apa arti korupsi.
Bahkan
mentri dalam negri (Mendagri) telah
membuat surat edaran SE yang bernomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 SE
tersebut ditujukan kepada semua Gubernur dan Bupati/ Walikota, hal ini
mengingat banyaknya pegawai negri sipil (PNS) yang telah menjalani hukuman
diangkat kembali dalam jabatan struktural. Mendagri berharap tidak ada lagi
mantan narapidana yang kembali diangkat dalam jabatan struktural, dan aturan
ini akan berlaku surut, di pertegas dengan kalimat “iya, artinya sudah bisa menjadi dasar untuk mencopot bagi yang sudah
terlanjur dipromosikan” ujarnya kepada media hukum online.[7]
setidaknya apabila seorang Hakim mampu
memutuskan hukuman tersebut ini akan menjadi suatu yurisprudensi baru bagi
bangsa Indonesia untuk mencegah dari tindakan korupsi.
Adapun
undang-undang yang mendukung bahwa mantan terpidana korupsi dilarang menduduki
jabatan publik kembali walaupun tidak secara tegas, yaitu Undang-Undang No 28
Tahun 1999 pasal 1 (ayat 2) Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dinyatakan “penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara yang menaati
asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi kolusi,dan
nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya”.
Kemudian
dalam pasal 5 (ayat 4) “tidak melakukan
perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme” kemudian dalam (ayat 7) juga
dinyatakan “bersedia menjadi saksi dalam
perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[8]
Bagaimana jadinya apabila seorang mantan terpidana korupsi diminta untuk
menjadi seorang saksi dalam sebuah perkara korupsi, apakah ada seseorang yang
mampu menjamin kalau mantan terpidana korupsi akan memberikan pernyataan
kesaksian yang sejujur-jujurnya, atau bahkan seorang mantan terpidana korupsi
tersebut bisa jadi memberikan pernyataan yang bisa benar atau palsu.
Secara
sosial apabila mantan narapidan korupsi masih dibiarkan menduduki kembali
jabatan publik ini akan merusak tatanan moral dikalangan masyarakat, selain
norma hukum positif, dikalangan masyarakat juga dikenal dan diberlakukan norma
adat, kesusilaan dan agama, dan ini sudah berlaku lama sebelum dikenalnya hukum
positif. Dibeberapa bagian kehidupan masyarakat misalnya ada kebiasaan mengusir
dan atau mengasingkan seseorang yang yang melakukan tindak asusila, tidak akan
pernah terbayangkan bagaimana jadinya apabila seseorang tersebut kembali
kemasyarakat tersebut dan kemudian menduduki jabatan publik. Secara moral
aturan ini akan menjadikan dan melahirkan generasi muda yang tak memikirkan
masa depannya, mereka akan melakukan berbagai tindak pidana yang jelas melawan
hukum, toh setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan kita juga bisa duduk di
jabatan publik kembali, inilah akibatnya apabila mantan narapidana korupsi masih
dibiarkan untuk dapat menduduki jabatan publik kembali.
[1] Evi
Hartanti,Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, Edisi kedua, hal 8-9
[2]Ibid, hal
12
[3] Ibid,
hal 16-17
[4] Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
[5] www.kpk.go.id yang diposting pada 22 Agustus
2013, 20:04
[6]
Undang-Undang No 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia
[7] www.hukumonline.com, yang di posting pada
hari senin tgl 21 April 2014
[8] UU No 28
Tahun 1999 Tentang penyelenggara negara
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar